Monday, April 20, 2015

REVIEW KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

Oleh
Suyarno


ABSTRAK
Realisasi program penghijauan atau hutan rakyat berdasarkan data statistik tahun 2003 seluas 1.789.700 ha. Total realisasi tersebut jika dibandingkan dengan total dana yang dikeluarkan masih jauh dibawah target, diduga terjadi kesalahan dalam pola pendekatan pengelolaannya yang pada umumnya masih sebatas penyediaan bibit dan bimbingan teknis cara penanaman dan pemeliharaan.
Berbagai kebijakan pemerintah sudah dilaksanakan dalam pengelolaan/pembangunan hutan rakyat terutama terhadap aspek yang berkaitan dengan potensi petani pemelik yaitu aspek kepemilikan lahan, silvikultur dan pemasaran tetapi dalam aplikasinya belum menyeluruh mengakomodir semua aspek tersebut mulai dari proses produksi sampai ke pemasaran.
Aspek pemasaran sangat penting peranannya karena tingkat pendapatan petani dapat terukur tetapi dalam pelaksanaannya petani tidak bisa terlepas dari sistem borongan karena kurangnya pengetahuan tentang penghitungan volume kayu dan adanya kebutuhan petani yang mendesak. Kondisi ini belum diakomodir oleh suatu kebijakan guna menekan tingkat kerugian petani pemilik lahan.

Kata kunci : Program penghijauan, potensi petani dan kebijakan pemerintah.



I. PENDAHULUAN

Kegiatan penanaman beberapa jenis pohon di lahan milik atau lebih dikenal dengan hutan rakyat sudah dilaksanakan sejak dahulu dan menurut  Darymple (1977) dalam Awang. 2002 bahwa hutan rakyat dengan pola tumpangsari sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1990. Kegiatan tersebut merupakan salah satu bagian dari program pemerintah yang dimulai tahun 1956 dengan istilah “ Gerakan Karang Kitri “,  yaitu gerakan menanam pekarangan dan lahan-lahan milik masyarakat berupa tanah kosong dengan jenis tanaman yang bermanfaat. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mempelopori kegiatan tersebut sejak tahun 1974 dengan istilah “ Rakgantang” (Gerakan Gandrung Tatangkalan), sedangkan pada Departemen Kehutanan  menyelenggarakan gerakan penghijauan dengan  program sengonisasi yang dimulai tahun 1990. Berdasarkan data statistik terakhir pada tahun 2003 menunjukan total realisasi penanaman sekitar 1.789.700 ha atau rata-rata per tahun 51.100 ha (Mulyana Y. 2005). Pencapaian tersebut apabila dibandingkan dengan total dana yang telah dikeluarkan masih jauh dibawah target bahkan pada kenyataannya banyak tanaman dalam katagori gagal. Hal ini diduga disebabkan kesalahan dalam pola pendekatan pengelolaan, sehingga setelah kegiatan berakhir petani kembali ke praktek semula.
Program-program penghijauan yang dilaksanakan pada umumnya hanya berorientasi sebatas penyediaan bibit, bimbingan teknis penanaman dan pemeliharaan tanaman. Pelaksanaan program yang tidak tuntas menyebabkan tujuan dari pembangunan model hutan rakyat tidak tercapai. Wijayanto (2006), menyatakan bahwa tujuan dari pembangunan model usahatani hutan rakyat adalah untuk meningkatkan produktivitas fisik per satuan luas lahan, mengoptimalkan lahan garapan, memperbaiki kualitas lingkungan dan sumberdaya hutan, dan memaksimalkan pendapatan usaha.
Peningkatan pendapatan dari hutan rakyat belum dapat dicapai secara maksimal karena menghadapi beberapa hambatan antara lain: (a) lemahnya penanganan paska panen, termasuk pemasaran produksi hutan rakyat, (b) luas pemilikan lahan masyarakat khususnya di Pulau Jawa relatif kecil, (c) kelembagaan usaha hutan rakyat belum mantap, (d) keterbatasan modal masyarakat dalam mengembangkan usaha hutan rakyat, (e) keterbatasan masyarakat tentang pengetahuan pengelolaan dan teknologi budidaya di hutan rakyat, (f) belum diketahuinya potensi dan sebaran lokasi hutan rakyat secara pasti (Siambaton. 1995 dalam Wijayanto. 2006).
Berbagai hambatan tersebut belum semua diakomodir oleh kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan rakyat. Secara garis besar potensi masalah yang dihadapi oleh petani pemilik untuk mengelola hutan rakyat adalah kepemilikan lahan, aspek silvikultur (penanaman dan pemeliharaan) dan aspek pemasaran.  Ketiga aspek ini secara keseluruhan belum tersentuh oleh kebijakan pemerintah guna meningkatkan pendapatan ditingkat petani. Oleh karena itu penyempurnaan kebijakan dibidang pengelolaan hutan rakyat masih sangat dibutuhkan ditingkat petani pemilik hutan rakyat.

  

II. ASPEK PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DAN KABIJAKAN PEMERINTAH

Aspek pengelolaan hutan rakyat yang berkaitan dengan kegiatan yang sudah dilaksanakan oleh petani dan kebijakan pendukung yang sudah dikeluarkan diuraikan pada sub bab berikut ini;

a. Kepemilikan Lahan
Secara umum khususnya di Pulau Jawa masalah utama terletak pada sempitnya lahan garapan yang rata-rata kurang dari 0,25 ha dan tidak dalam satu blok. Kepemilikan lahan yang memungkinkan untuk dijadikan areal pengembangan hutan rakyat pada umunya terdiri dari satuan usahatani sempit dengan rata-rata kepemilikan lahan 0,5 ha /kk. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat korelasi antara luas kepemilikan lahan dengan pengembangan tanaman kehutanan. Makin sempit penguasaan lahan  makin kurang minat untuk menanam tanaman pohon (Mile Y., 2005). Lahan yang dimiliki oleh petani mempunyai tingkat kendala yang tinggi untuk diberlakukan suatu kebijakan pemerintah. Kebijakan yang ada dan sudah dilaksanakan hanya sebatas program intensifikasi tanaman dan pelaksanaan tumpangsari untuk mengoptimalkan lahan garapan yang sempit.

b. Silvikultur
Ditinjau dari sejarah kegiatan penanaman kayu sudah dimulai sejak dahulu sehingga jika target yang diharapkan hanya menanam kayu petani sudah mempunyai pengalaman yang lebih banyak. Kegiatan penanaman yang dilaksanakan oleh masyarakat secara umum menggunakan bibit/anakan yang tumbuh secara alami yang penyebarannya dibantu oleh angin. Bibit alami ini sudah banyak dilakukan untuk kegiatan penanaman oleh masyarakat diantaranya di  Wonosobo dan di Sukamulya Ciamis. Anakan alami dari sengon tumbuh rapat pada satu tempat menyerupai bendeng tabur yang kemudian disebarkan pada lahan garapannya. Hasil wawancara di beberapa lokasi di Kabupaten Ciamis  diperoleh informasi bahwa kegiatan penanaman yang berasal dari bibit yang tumbuh alami pada lahan tersebut mempunyai persen tumbuh dan persen jadi lebih baik dari pada bibit yang berasal dari luar daerah dengan cara membeli. Hal ini disebabkan bibit yang tumbuh alami sudah beradaptasi dengan lingkungan dan sudah teruji tingkat kecocokannya.
Disamping masalah bibit,  teknik-teknik untuk mempercepat pertumbuhan diameter dan tinggi pohon ditingkat petani sudah tidak menjadi kendala, salah satunya masyarakat di Panawangan Ciamis sudah cukup lama membudidayakan hutan rakyat jenis sengon dengan menggunakan terubusan. Berdasarkan hasil  pengukuran teknik terubusan Suyarno (2005) menyebutkan bahwa tingkat pertumbuhan diameter dan tinggi pohon sengon  lebih cepat bila dibandingkan dengan teknik penanaman dari bibit. Hal ini dikarenakan sistem perakaran terubusan sudah lebih berkembang dibandingkan dengan sistem anakan, sehingga kemampuan penyerapan nutrisi lebih baik. Berdasarkan hasil pengukuran secara acak, sengon yang berasal dari terubusan di Panawangan Ciamis hasilnya disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 : Data hasil pengukuran teknik terubusan.
Klasifikasi
Diameter Pohon
Diameter Terubusan
Diameter
dari Bibit
(cm)
Jumlah Terubusan
Diameter
(cm)
Besar
0,36
3
0,37



0,07



0,29




Sedang
0,19
2
0,21



0,13




Kecil
0,04
2
0,04



0,09




               Sumber data : Hasil pengukuran diameter pada tahun 2004

Berdasarkan Tabel 1 ditunjukkan bahwa sengon dengan sistem terubusan menghasilkan diameter tegakan yang lebih besar bila dibandingkan dengan tanaman sengon yang berasal dari bibit, apalagi secara kwantita keseluruhan terubusan dijumlahkan. Hal ini memberikan gambaran bahwa secara langsung teknik terubusan menghasilkan pertumbuhan diameter awal kayu yang lebih besar dari pada tegakan sengon yang berasal dari bibit. Apabila rata-rata tinggi pohon pada Tabel 1 diasumsikan sama yaitu 12 m dan jumlah terubusan hanya 2 pohon terbesar maka diperoleh rata-rata volume total sebesar 1,13 m3.
Masyarakat dalam membudidayakan hutan rakyat selain menggunakan sistem terubusan, pada umumnya sudah menggunakan sistem tumpangsari, baik dengan komoditi tanaman perkebunan, tanaman obat maupun tanaman palawija. Hasil survey dari beberapa sampel pola tumpangsari yang dilaksanakan oleh petani diantaranya (Diniyati D.dkk, 2005) yaitu;
(1)         Pola yang sudah dilaksanakan di Kabupaten Tasikmalaya; (a) Tanaman kayu + tanaman buah-buahan + tanaman semusim + tanaman obat, (b). Tanaman kayu-kayuan + tanaman buah-buahan + tanaman perkebunan. (c). Tanaman kayu-kayuan + tanaman buah-buahan + tanaman perkebunan + tanaman obat.
(2)         Pola yang sudah dilaksanakan di Kabupaten Cilacap; (a) Tanaman kayu + tanaman buah-buahan + tanaman obat, (b). Tanaman kayu-kayuan + tanaman buah-buahan + tanaman perkebunan + tanaman semusim + tanaman obat. (c). Tanaman kayu-kayuan + tanaman buah-buahan + tanaman perkebunan + tanaman obat. (d) tanaman obat-obatan + tanaman perkebunan + tanaman semusim + tanaman kayu.
(3)         Pola yang sudah dilaksanakan di Kabupaten Ciamis; (a) Tanaman kayu + tanaman buah-buahan, (b). Tanaman kayu-kayuan + tanaman buah-buahan + tanaman perkebunan + tanaman semusim (c). Tanaman kayu-kayuan + tanaman buah-buahan + tanaman perkebunan + tanaman palawija.
(4)         Pola yang sudah dilaksanakan di Kabupaten Wonosobo; (a) Tanaman kayu + tanaman perkebunan (b) tanaman kayu + tanaman semusim (c) tanaman kayu + tanaman obat-obatan (d) tanaman kayu + tanaman perkebunan + tanaman obat.
(5)         Pola yang sudah dilaksanakan di Kabupaten Kuningan; (a) Tanaman kayu + tanaman semusim + tanaman buah-buahan + tanaman perkebunan, (b). Tanaman kayu-kayuan + tanaman perkebunan + tanaman buah-buahan + tanaman bambu. (c). Tanaman kayu-kayuan + tanaman perkebunan + tanaman semusim + tanaman obat-obatan. (d). Tanaman kayu + tanaman buah-buahan + tanaman semusim.

Berbagai pola tersebut untuk meningkatkan pendapatan dari hutan rakyat, meskipun demikian untuk lebih mengoptimalkan pertumbuhan dan hasil yang maksimal berbagai kebijakan sudah dilaksanakan. Dari segi bibit untuk menjamin kualitasnya kebijakan pemerintah sudah memberlakukan sertifikasi bibit terhadap semua program pemerintah, disamping itu Departemen Kehutanan telah membentuk UPT yang mempunyai tupoksi dibidang risert mulai dari aspek biji, benih, tindakan silvikultur sampai teknologi pengolahan hasil. Dibentuknya berbagai instansi tersebut diharapkan mampu merakit atau menciptakan paket teknologi yang akhirnya dapat diadopsi oleh masyarakat guna lebih mengoptimalkan produktivitas yang akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani.

C. Aspek Pemasaran
Aspek pemasaran memegang peranan yang sangat penting dan menjadi ujung dari semua proses. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa petani pada umumnya dihadapkan pada masalah kebutuhan yang mendesak dan seringkali tanaman kayu menjadi andalan guna mengatasinya sehingga muncul istilah ”daur butuh” . Kondisi tersebut menyebabkan petani pada posisi yang lemah karena pada kenyataannya penjualan kayu dilaksanakan dengan sistem borongan kepada bandar. Penjualan kayu yang dilaksanakan oleh petani dengan sistem borongan ke bandar ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya yaitu; (1) tidak menanggung biaya pemanenan/penebangan, (2) tidak perlu mengeluarkan biaya pemasaran karena biaya penebangan, pembagian batang, pengangkutan dan pemasaran menjadi tanggungan pedagang pengumpul, (3) tidak ikut mananggung biaya kerusakan kayu/penyusutan yang dikarenakan kayu tidak memenuhi persyaratan pasar, (4) bisa memanfaatkan sisa-sisa tebangan yang tidak diambil pedagang pengepul sebagai kayu bakar, sisa daun dapat sebagai makanan ternak maupun pupuk hijau. Meskipun demikian secara hitungan ekonomi petani sangat dirugikan dengan sistem penjualan borongan karena disamping nilai tawar di petani rendah, total volume kayu sebagai dasar penentuan harga tidak diketahui dan hanya berdasarkan jumlah pohon. Fenomena penjualan kayu yang sangat merugikan petani tersebut sudah berjalan lama dan belum ada campur tangan pemerintah untuk mencari jalan keluar guna meminimalisir kerugian di tingkat petani.
Kebijakan tentang hasil dan pamasaran dari hutan rakyat belum ada perhatian dari pemerintah meskipun pada tahun 1994/1995 terbentuk Dinas Perhutanan dan Konservasi tanah (Dinas PKT) di Kabupaten yang mempunyai tugas melaksanakan 5 (lima) urusan di bidang kehutanan, yaitu penghijauan dan hutan rakyat, konservasi tanah dan air, perlebahan, persuteraan alam dan penyuluhan. Kemudian dalam perkembangannya pada tahun 1998 menjadi 10 urusan kehutanan yang dilaksanakan Dinas PKT, dan selanjutnya sejak otonomi daerah telah berkembang menjadi Dinas otonom di Kabupaten yang menangani urusan kehutanan sesuai dengan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota hingga sekarang. Kebijakan yang dikeluarkan dengan adanya pelaksanaan otonomi daerah masih sebatas surat ijin penebangan dan surat keterangan jalan bukti legalitas kayu. Kebijakan ini tidak menyentuh kepada kepentingan petani pemilik kayu karena kebijakan tersebut berkenaan langsung kepada para pengusaha/bandar kayu dan petani tetap dalam posisi yang lemah (posisi tawar yang rendah) dalam penjualan kayu.
Kebijakan pemerintah dalam menekan tingkat kerugian petani dalam penjualan kayu dapat dilakukan beberapa langkah diantaranya;

1. Sosialisasi penghitungan volume kayu.
Langkah ini dilakukan untuk meminimalisir kerugian petani, baik penjualan sistem borongan maupun per pohon. Pengetahuan tentang volume kayu ditingkat petani diharapkan dapat meningkatkan nilai tawar pada saat bertransaksi. Sosialisasi penghitungan volume kayu terlebih dahulu dilaksanakan ditingkat penyuluh untuk menyamakan presepsi dan teknik penghitungan kayu yang benar karena diduga cara penghitungan volume kayu yang benar belum dikuasai oleh semua penyuluh dengan ditemukan kasus di lapangan penghitungan diameter dilaksanakan sejauh jangkauan tangan.
Penyuluh sebagai ujung tombak di lapangan yang paling dekat dengan petani harus mensosialisasikan teknik penghitungan volume ke tingkat petani sehingga petani mempunyai wawasan yang seragam tentang volume kayu yang akhirnya dapat beradu tawar dengan pembeli/bandar.

2. Sosialisasi tentang pasaran harga yang kontinyu.
Informasi harga juga sangat dibutuhkan ditingkat petani yang domisilinya relatif jauh dari perkotaan dengan harapan dapat dijadikan sebagai dasar harga yang akan ditawarkan ke pembeli sehingga tingkat kerugian di petani dapat dihindari.


3. Peninjauan kembali pemberlakuan restribusi kayu rakyat.
Kebijakan tentang hasil kayu rakyat berupa kayu sudah mengalami beberapakali perbaikan dan revisi. Pada awalnya restribusi diberlakukan dari kegiatan penebangan sampae pengangkutan. Pemberlakuan SKAU (surat keterangan asal usul kayu) telah memperpendek jalur administrasi pengangkutan kayu tetapi pada dasarnya biaya administrasi masih dikeluarkan pada saat kayu akan diangkut ke luar daerah. Biaya yang ditanggung pembeli secara tidak langsung dibebankan kepada petani pemilik karena dasar penentuan harga pembelian dengan memperhitungan terhadap semua biaya yang dikeluarkan.
Dua dari tiga langkah tersebut yaitu sosialisasi penghitungan volume dan sosialisasi pasaran harga sebagai gambaran sederhana yang tidak memerlukan biaya besar, adapun untuk menstabilkan harga, campur tangan pemerintah sangat diperlukan yang mungkin dapat ditempuh dengan kebijakan pelarangan mendatangkan kayu dari luar daerah selama stok bahan baku di daerah setempat masih mencukupi. Rangsangan berupa perhargaan atau reward dari pemerintah kepada petani atau penyuluh yang berhasil menjaga kelestarian hutan rakyat dapat dilaksanakan untuk menarik perhatian masyarakat yang lain agar terdorong menjaga kelestarian hutan rakyat yang akhirnya stok kebutuhan bahan baku industri didaerah tersebut tetap terjaga dan harga dapat stabil.

III. PENUTUP
Pelaksanaan program penghijauan yang sudah cukup lama kiranya paradigma yang harus diusung tidak hanya sebatas bantuan bibit dan bimbingan teknis tetapi juga harus menyentuh kepada aspek pemasaran yang selama ini seringkali ditinggalkan. Aspek pemasaran tidak hanya informasi tentang agen-agen yang siap menampung hasil dari petani tetapi pengetahuan petani tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan penjualan hasil hutan rakyat berkaitan dengan volume, harga dan lain-lain perlu ditingkatkan sehingga dapat meminimalisir kerugian di tingkat petani. Kebijakan pemerintah masih sangat ditunggu untuk menunjang keberlanjutan pengusahaan hutan rakyat dan menjaga kestabilan harga. Apresiasi pemerintah kiranya sangat diperlukan berupa penghargaan kepada semua pihak, baik petani, penyuluh maupun pihak lain yang berusaha menjaga kelestarian hutan rakyat yang akhirnya stok dari hutan rakyat dapat terjaga dan dapat menguntungkan semua pelaku usaha kayu rakyat, terutama petani.


DAFTAR PUSTAKA
Awang S., W. Andayani., B. Himmal., W.T. Wahyuni dan A. Affianto. 2002. Hutan Rakyat, Sosial Ekonomi dan Pemasaran. Fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta.

Diniyati D, S.E. Yuliani., E. Fauziyah., Suyarno, A. Badrunasar. 2005. Kondisi dan Potensi Hutan Rakyat di Kabupaten Cilacap, Ciamis, Tasikmalaya, Wonosobo dan Kuningan. Pada Prosiding Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.

Mulyana Y. 2005. Sistem Keproyekan APBN Kurang Cocok Dengan Kultur Reboisasi. Surili Vol. 37 (4) halaman 17-18. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Bandung.

Mile Y. 2005. Konsepsi Pengelolaan Lahan dan Langkah Strategis dalam Peningkatan Produktifitas Hutan Rakyat. Pada Prosiding Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.

Suyarno. 2005. Regenerasi Hutan Rakyat Sengon Tehnik Terubusan (Study Kasus di Kecamatan Panawangan Kab. Ciamis). Al-Basia Vol. 1 (2) halaman 65-70. Loka Litbang Hutan Monsoon. Ciamis.

Suyarno. 2005. Menengok Tata Usaha Kayu Rakyat di Kabupaten Ciamis Selama Otonomi Daerah. Surili Vol. 34 halaman 66-70. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Bandung.

Wijayanto N. 2006. Strategi Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Pada Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I. Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.